aptisi.or.id, Jakarta – Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Budi Djatmiko mengungkapkan, minimnya pengajuan pendirian politeknik disebabkan karena berbagai hal. Salah satunya yaitu perlunya modal yang besar dan tidak optimalnya dukungan dari pemerintah.
Menurutnya, bentuk bantuan dan dukungan yang bisa diberikan oleh pemerintah tidak melulu harus dalam bentuk pendanaan saja. Hal lain seperti pemberian izin yang lebih jelas dan menentu, atau membuat kebijakan untuk mengutamakan lulusan vokasi dalam penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) hingga memberi kemudahan perubahan ijin dari S1 ke D4 (dari akademik ke vokasi) dengan menggunakan ketentuan kelengkapan dipenuhi sambil berjalan dan bisa pinjam Laboratorium, diyakini bisa menumbuhkan minat pembukaan politeknik.
“Selama ini masyarakat kan kurang familier dengan pendidikan vokasi, dan cenderung mengejar gelar. Jadi seharusnya melalui kebijakan-kebijakan pemerintah juga harus berupaya keras mempromosikannya dengan gencar,” jelas Budi saat diwawancari melalui telephone oleh Republika, Selasa (28/8).
Menurut Budi, jika memang akan memokuskan pada vokasi, Kemeristekdikti seharusnya mau belajar dari Kemendikbud yang selama 15 tahun belakangan telah mengembangkan SMK. Dulu Kemendikbud juga memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menyesuaikan kurikulum dan laboratorium dengan bantuan pemerintah dan industri.
“Ya kenapa malu ikuti cari perubahan dari SMA ke SMK, tetapi konsekuensinya dana bantuan harus besar untuk melengkapi itu, dan jangan dikaitkan dengan akreditasi untul kepemilikan laboratorium, sehingga banyak swasta berbondong-bondong membuka Prodi Vokasi,” jelasnya.
Dia juga berpendapat, pemerintah tidak bisa sepenuhnya bertumpu pada industri dalam mendirikan politeknik. Budi menegaskan, pemerintah juga harus berani menggeser anggaran belanja untuk memenuhi kebutuhan politeknik di Indonesia.
Sebelumnya, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) bakal semakin mempermudah pengusulan pendirian politeknik di Indonesia. Mengingat, jumlah politeknik di Indonesia masih terhitung jari, padahal untuk menghadapi era revolusi industri 4.0 pendidikan vokasi harus lebih diperbanyak.
Direktur Jenderal Kelembagaan Iptek dan Dikti Patdono Suwignjo mengaku, meski telah disupport dan dipermudah minat pendirian Politeknik masih tetap minim. Pada tahun 2017 hanya 8 yang mengusulkan pendirian politeknik. Dia memperkirakan, minimnya minat itu karena modal pendirian politeknik sangatlah mahal bisa mencapai Rp 250 hingga Rp 300 miliar untuk jumlah mahasiswa 2000 hingga 2.500 mahasiswa.
“Mendirikan politeknik itu udah mahal, tapi tidak ada anak orang kaya yang mau kuliah di politeknik. Jadi kalau ditarif uang gedung Rp 100 juta atau Rp 50 juta saja gak ada yang mau, coba kalau kedokteran ditarif Rp 500 juta, itu pada antri,” ungkap Patdono usai acara Forum Konsultasi Publik Layanan Direktorat Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Perguruan Tinggi di Gedung Kemenristekdikti Jakarta, Selasa (28/8).